Index

Selasa, 14 Agustus 2012

BAB I PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
Di dalam sastra ada sebuah hubungan yang sangat erat antara apresiasi, kajian dan kritik sastra karena ketiganya merupakan tanggapan terhadap karya sastra. Saat pembaca sudah mampu mengapresiasi sastra, pembaca mempunyai kesempatan untuk mengkaji sastra. namun, hal ini tak sekadar mengkaji. Karena mengkaji telah menuntut adanya keilmiahan. Yaitu adanya teori atau pengetahuan yang dimiliki tentang sebuah karya. Saat Apresiasi merupakan tindakan menggauli karya sastra, maka mengkaji ialah tindakan menganalisis yang membutuhkan ilmu atau teori yang melandasinya. tentang penjelasan mengkaji seperti yang diungkapkan oleh Aminudin (1995:39) kajian (sastra) adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antar unsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu. Dengan adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu membedah karya-karya yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur yang menyusun drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di dalamnya. Kajian sastra memiliki berbagai pendekatan. pendekatan-pendekatan itu ialah Objektif (struktural dan struktural semiotik), mimesis (sosiologi sastra), ekspresif (hermeuneutik), pragmatik (resepsi sastra & intertekstual), posmodernisme (dekonstruksi, poskolonial, studi kultural, dan feminisme) Dalam makalah ini penulis akan melakukan pengkajian novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari secara sosiologi sastra. 2. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat kita simpulkan beberapa pertanyaan yang akan di bahas dalam makalah ini yaitu: 1. Bagaimanakah Citra dan konteks masyarakat jawa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari? 2. Bagaimanakah Fungsi sastra yang terkandung dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari? 3. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari? 3.Tujuan Penulisan Makalah Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis tentang kajian terhadap karya sastra (Prosa) dan agar penulis dapat mengetahui bagaimana mengkaji karya sastra (prosa) dengan baik dengan menggunakan suatu pendekatan tertentu. Dalam makalah ini penulis memilih pendekatan sosiologi sastra. 4.Metode Penganalisisan Data Dalam makalah ini dalam mengkaji penulis menggunakan dua metode, yaitu: a. Metode Studi Pustaka Metode studi pustaka ini digunakan penulis untuk mencari dan mengumpulkan bahan bacaan atau referensi yang berkaitan dengan materi yang akan penulis kaji. b.Metode Kualitatif Yaitu penulis memilih satu jenis judul teks drama kemudian ditelaah dan dicari unsur-unsur-unsur pembentuknya, unsur sosial budaya serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya dengan berdasarkan pada teori pengkajian sosiologi sastra yang telah ada sehingga bersifat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. 5.Manfaat Penulisan Makalah a. Bagi Penulis Bagi penulis, makalah ini sangat bermanfaat karena setelah mengapresiasi selanjutnya penulis dapat mengalami proses pengkajian, sehingga pengetahuan serta pengalaman penulis akan karya sastra juga bertambah. b. Bagi Pembaca Bagi pembaca, makalah ini dapat menambah wawasan pembaca tentang kajian terhadap karya sastra serta dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. BAB II KAJIAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain. 1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya. 2. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. 3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi. 4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat. 5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut. 1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112) 2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban. 3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya. Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1989: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut. 1. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. 2. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat. 3. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu: 1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal. 2. Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya. 3. Audien atau pembaca (1981: 178). Jadi, Sosiologi Sastra merupakan ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. BAB III ANALISIS NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI A. Sinopsis Dukuh paruk adalah sebuah dukuh yang kecil dan menyendiri. Dukuh paruk mempunyai seorang moyang yang bernama Ki Secamenggala. Orang-orang dukuh paruk memuja kuburannya. Suatu hari, Rasus bersama kedua temannya sedang mengembala kambing sambil mencari singkong. Pada saat itu, mereka melihat Srintil sedang bermain sendirian sambil mendendangkan lagu ronggeng dan membuat badongan. Kemudian Srintil menari dengan diiringi Rasus bersama teman-temannya. Srintil mampu menarikan ronggeng dengan sangat baik. Secara diam-diam Sakarya ditemani Kertareja mengikuti gerak-gerik Srintil ketika cucunya itu menari. Sakarya yakin bahwa Srintil telah kerasukan indang ronggeng. Tak seorangpun menyalahkan Sakarya karena dukuh paruk hanya lengkap apabila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng dengan seperangkat calungnya. Pada hari yang baik Srintil diserahkan oleh Sakarya kepada Kertareja untuk mematuhi hukum Dukuh Paruk mengenai perihal calon ronggeng. Kertareja menemukan hari baik untuk memulai mengasuh Srintil. Malam itu Srintil didandani seperti layaknya ronggeng dewasa. Nyai Kertareja telah meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Bukan main senang hati masyarakat dukuh paruk ketika mendengar akan ada pementasan ronggeng. Pada saat itu, Srintil menari dengan sangat memesona. Penampilan Srintil lebih menarik karena dibubuhi oleh ulah Sakum yang kocak dan cabul. Para penonton memuji-muji Srintil. Rasus yang sejak tadi mendengar omongan para warga merasa tidak senang. Malam itu merupakan kenangan atas diri Srintil meliputi hati semua orang dukuh paruk. Kini Rasus telah melihat kenyataan bahwa Srintil telah menjadi ronggeng dalam usia sebelas tahun. Rasus merasa kehilangan perhatian Srintil. Dia mencari akal untuk merebut perhatian Srintil kembali. Suatu hari Rasus menarik perhatian Srintil dengan cara memberinya buah papaya. Pada kesempatan lain, Rasus memberi Srintil keris jaran goyang bekas milik ayahnya. Sudah dua bulan Srintil menjadi ronggeng. Tetapi masih ada tahapan lain untuk menjadi ronggeng yang sempurna. Tahap itu ialah tahap bukak kelambu. Sayembara inilah yang membuat Rasus gelisah. Ia merasa tidak rela kalau Srintil dijadikan sayembara. Sayembara itu dilaksanakan pada Sabtu malam. Rasus yang gelisah tersebut dihibur oleh Warta sahabatnya. Malam itu Dower datang lagi dengan membawa seekor kerbau. Kertareja belum mau menerima hal tersebut karena yang diinginkan adalah sekeping emas. Pada saat itu, datanglah Sulam dengan membawa sekeping emas. Kedua pemuda tersebut bertengkar memperebutkan Srintil. Pada akhirnya, mereka berdua dapat dibodohi oleh Kertareja dan istrinya. Sejak saat itu, Rasus meninggalkan dukuh paruk. Suatu hari di pasar Dawuan bertemu Srintil yang sedang berbelanja. Dengan penampilan Srintil setelah menjadi ronggeng Rasus kehilangan bayang-bayang emaknya. Di pasar dawuan inilah Rasus memperoleh pengalaman dan mampu menilai kehidupan di Dukuh paruk secara kritis, tentang kemelaratannya, kebodohannya, dan kemalasannya. Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman lagi. Perampokan dan kekerasan sering terjadi. Rasus meninggalkan pasar Dawuan. Ia berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain bersama tentara di bawah pimpinan sersan Slamet. Tentara itu bermarkas di Dawuan. Sersan Slamet sangat menyukai Rasus. Ia mengajarinya membaca dan menulis. Kehadiran tentara di Dawuan tak selamanya dapat mencegah perampokan. Kemudian Sersan Slamet membagi kelompok untuk mengawasi rumah-rumah penduduk yang diduga menyimpan emas permata. Pada malam kesembilan terjadi perampokan dirumah Kertareja. Dalam kesempatan itu Rasus bertemu dengan neneknya. Rasus pulang ke rumah neneknya bersama Srintil. Srintil meminta agar Rasus menikah dengan Srintil tetapi Rasus menolaknya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, Rasus merasa telah memberi sesuatu yang sangat berharga bagi Dukuh Paruk, yaitu Ronggeng. Rasus meninggalkan Dukuh paruk dengan gagahnya bukan karena bedil dipundaknya, melainkan karena ia telah yakin bahwa ia mampu hidup tanpa kehadiran bayangan emaknya. B. Citra Masyarakat Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Citra masyarakat Jawa adalah gambaran tentang peran dalam kehidupan sosial. Masyarakat Jawa dicitrakan sangat menjunjung tinggi warisan leluhurnya. Mulai dari bahasa, kepercayaan, mitos serta adat istiadatnya. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa. Menengok ke bidang-bidang budaya Jawa spiritual, terutama yang dilakukan oleh penghayat kepercayaan kejawen, sebenarnya ajarannya jelas tidak akan lepas dari persoalan etika kebijaksanaan Jawa. Apalagi ajaran mereka selalu diperoleh melalui penghayatan gaib, hingga di dalamnya terdapat petunjuk Tuhan yang dapat menjadi sumber etika kebijaksanaan Jawa yang lebih berharga. Penghayat kepercayaan kejawen dapat digolongkan menjadi dua hal. Pertama, etika kebijaksanaan di tingkat paguyuban yaitu hidup yang selalu mengedepankan sikap: (1) pasrah, berserah diri kepada Tuhan secara total (sumarah), dan (2) bertindak jujur dan ikhlas. Kedua, penghayat hendaknya tolong-menolong. Etika kebijaksanaan ini merupakan aktualisasi dari konsep ”tapa ngrame”. Tapa ngrame dilakukan dengan semangat sepi ing pamrih yang diasumsikan akan menjadi perwujudan pandangan hidup ”memayu hayuning bawana.” Dengan cara ini penghayat meyakini bahwa hidup mereka kelak dapat mencapai cita-cita tertinggi yaitu ”manunggaling kawula-Gusti.” Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk ini sangat kental akan kebudayaan, kepercayaan dan mitos-mitos yang mengalir dalam budaya kejawen. Antara lain yaitu budaya keris, Roh-roh, kekeramatan, religi, nasib, sikap nrimo/menerima, keperawanan serta pernikahan. C. Konteks Masyarakat Jawa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk 1. Budaya Keris Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata bilah dua. Bilahnya bisa lurus atau berkeluk-keluk. Keris mempunyai beberapa jenis, di antara lain keris alang (keris yang sedang panjangnya), keris berluk (keris yang bilahnya berkeluk), keris pendek, keris sepukal (keris yang bilahnya lurus) dan keris parung (keris yang berkeluk sembilan).12 Dalam masa perang kuna, keris dipakai sebagai senjata. Dalam budaya Jawa, keris melambangkan kejantanan. Oleh karena itu, keris merupakan bagian dari busana tradisional pria. Keris dapat juga menggantikan pria dalam situasi tertentu, misalnya pada acara temu pengantin ketika pengantin pria berhalangan hadir. Keris juga dianggap mempunyai kekuatan magis. Keris dipercaya dapat membuat pemegangnya lebih berani, serta membuat musuh takut. Dalam kata lain, keris dapat mempengaruhi baik pemegangnya maupun orang lain. Kebudayaan keris ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, terutama ketika Srintil baru belajar menjadi ronggeng. Keris merupakan suatu perlengkapan busana ronggeng yang tidak dapat ditinggalkan; dipercaya bahwa pemakaian keris yang benar akan membuat tariannya menjadi semakin dahsyat. Ini disebabkan karena keris itu adalah pekasih, dan dianggap mempunyai daya tarik seksual. Selain berbentuk phallus, keris itu mempunyai enerji yang selalu digunakan oleh ronggeng. Hal ini tampak pada kutipan berikut. “Mereka mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap.Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. Rasus, dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan juga kata Kartareja.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:24) Biarpun ini tidak sepenuhnya sama dengan kebudayaan keris sebagaimana dijelaskan di atas, perbedaan itu masih dapat dijelaskan. Oleh karena tarian ronggeng digambarkan mempunyai unsur seksual yang kuat (seperti malam bukak-klambu), keris digunakan sebagai pengganti pria. Dengan ronggeng memakai keris, pria dan wanita menyatu. 2. Roh-roh Dalam kepercayaan Jawa ada berbagai macam roh halus yang dapat menyebabkan malapetaka apabila mereka dibuat marah. Untuk menenangkan roh-roh halus ini diberi sesajen, misalnya berupa nasi dan aneka makanan lain atau bunga. Namun, ada roh halus yang dapat membawa keberuntungan. Selain roh halus, ada pula kepercayaan bahwa roh nenek moyang masih ada dan kadang-kadang menjenguk keluarga. Roh nenek moyang ini dihormati oleh keluarga dan dipercaya dapat berkomunikasi dengan orang hidup (wangsit).Apabila ini terjadi, apapun yang diminta dianggap sebagai hal yang terbaik. Dunia roh ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam plot Ronggeng Dukuh Paruk. Wangsit terlihat sekali ketika Srintil dilihat menari dengan indah tanpa diajari, Sakarya dan Kartareja merasa bahwa dia dirasuki ndang ronggeng. Kepercayaan ini menjadi dasar mereka untuk melatihkan Srintil menjadi ronggeng. Sementara, ketika Rasus mengambil keris dari rumahnya, dia memberi alasan menerima wangsit dari ayah kepada neneknya supaya tidak banyak ditanya. Ada pula kerasukan arwah Ki Secamenggala. Saat diadakan upacara pemandian di kuburan Dukuh Paruk dan tarian Srintil, Kartareja tampaknya kerasuk. Seperti tampak pada kutipan berikut. “Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah terhuyung-huyung, dan matanya menjadi setengah terpejam”. Kejadian ini langsung ditangkapi oleh Sakarya sebagai kerasukan. Dengan demikian, Srintil diminta menari untuk memuaskan Ki Secamenggala. Setelah Kartareja mulai memeluk Srintil terlalu keras, baru Ki Secamenggala melepaskannya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:26) 3. Kekeramatan Di dalam budaya Jawa, kuburuan dianggap sesuatu yang keramat. Ini disebabkan oleh hormat untuk nenek moyang dan kepercayaan bahwa roh orang mati masih menyaksikan segala di bumi. Dengan demikian, untuk acara tertentu, misalnya nyewu, diadakan upacara di pemakaman. Juga diwajibkan sopan santun tinggi saat di kuburan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, kekeramatan ini muncul pada kutipan berikut. Kepercayaan ini muncul di dua bagian Ronggeng Dukuh Paruk. Pertama, saat diadakan upacara pemandian dan tarian untuk mendapatkan restu Ki Secamenggala agar Srintil menjadi ronggeng. Kali kedua ialah ketika Srintil mengajak Rasus bercinta di pemakaman untuk menenangkannya, tetapi Rasus menolak karena tempat itu adalah tempat yang keramat. Seperti tampak pada kutipan berikut. “Srin, ini tanah pekuburan. Dekat dengan makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa kualat nanti,”jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku. Kulihat Srintil termangu. Napasnya masih memburu. Rona wajahnya berubah. Terkesan rasa kecewa.Ronggeng Dukuh Paruk itu tetap berdiri seperti batu-batu nisan di belakangnya. Tanpa gerak.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:39) 4. Religi Pada umumnya ada dua jenis religi Jawa, yaitu: 1. Islam santri, atau orang yang menolak kepercayaan tradisional Jawa dan memeluk semua aspek Islam 2. Islam kejawen, atau orang yang secara resmi mengakui Islam tetapi masih memegang erat kepercayaan Jawa. Kaum priyayi pada umumnya termasuk kejawen. Ada pula orang Jawa yang mempunyai religi lain, misalnya orang Jawa Katolik, Protestan, dan sebagainya, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit. Religi dalam Ronggeng Dukuh Paruk mencerminkan perbedaan itu. Di Dukuh Paruk, tidak ada orang yang dikatakan menganut ajaran Islam dengan baik. Rasus tidak memahami konsep ‘dosa’ sampai pindah ke Dawuan. Hal-hal seperti pergaulan bebas sudah umum di dukuh Paruk.Sementara, di Dawuan ada banyak orang yang menganut Islam dengan cara yang lebih taat, biarpun bukan santri. Misalnya, Siti, seorang gadis seusia Srintil, memakai kerudung dan melarikan diri setelah Rasus mencubit pipinya. Ada pula seorang gadis yang rajin bersolat, sesuatu yang tidak ada di Dukuh Paruk. Seperti tampak pada kutipan berikut. Kerudung yang selalu menutupi kepala Siti kusingkapkan. Putih pipinya dan keindahan tengkuknya tak bertirai lagi. Tak ayal tanganku bergerak mencubit pipi putih itu. Mula-mula aku senang karena dengan pipi merah itu Siti bertambah cantik. Namun aku jadi terkejut ketika Siti berlari dengan melemparkan singkong yang telah dibelinya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:50) 5. Nasib Orang Jawa percaya bahwa semua yang terjadi di dalam hidup sudah ditentukan. Dalam kata lain, apabila kita menjadi baik atau jahat, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, sudah ditentukan sejak sebelum lahir. Ini muncul di Ronggeng Dukuh Paruk ketika Kartareja dan Sakarya mendiskusikan rasuknya Srintil olehi ndang. Setelah melihat tarian Srintil, Kartareja berpendapat: “ Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:10) 3.6 Nerimo/cipto tunggal Salah satu dasar hidup bersama dalam budaya Jawa adalah konsep nerima, atau maklum atas keterjadian dalam hidup. Oleh karena emosi dianggap sesuatu yang selayaknya dihindari, masyarakat Jawa diajari untuk menerima keadaan apa adanya dengan senang hati. Ini terwujud dalam batin Srintil, yang menganggap upacara bukak klambu sebagai sebuah keharusan dan karenanya dia tidak memberontak terhadap upacara itu. Dia melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan lugu menghadapi upacara itu. Semua yang dialami dipandang sebagai hukum keharusan sehingga harus diterima dengan pasrah. Karena itu, walaupun dia merasakan sakit pada bagian perutnya ketika menjalani upacara itu, dia tidak berani melawan atau memberontak karena menjadi seorang ronggeng adalah suatu kehormatan dalam kedudukan sosial budaya dukuh Paruk. 7. Keperawanan Keperawanan, atau virginitas, dalam budaya Jawa sangat berarti. Ketidakperawanan istri saat menikah dapat menjadi alasan untuk bercerai, dan wanita tidak berpasangan yang sudah diketahui bukan perawan dianggap sangat rendah. Biarpunhymen rusak karena hal selain berhubungan seks, itu masih dianggap bukan perawan. Akibatnya, wanita Jawa tradisional berusaha untuk menjaganya sampai menikah. Ini sering diwujudkan dengan tidak bergaul dengan lelaki. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, ada dua sudut pandang mengenai keperawanan: satu di Pasar Dawuan, dan satu di Dukuh Paruk. Di Pasar Dawuan, keperawanan wanita dipandang dari sudut pandang Jawa tradisional, yaitu harus dijaga sebisa mungkin. Biarpun ada yang dapat dibayar dan sudah bukan perawan lagi, ada juga yang terkenal pemalu dan sholeh. Ini terbukti dengan adanya tokoh Siti dan satu perempuan tak ternama.Keperawanan di Dukuh Paruk dibahas dengan adanya upacara ritual bukak klambu. Konsep inisiasi ini bertitik tolak dari pandangan bahwa seseorang calon ronggeng baru sah menjadi ronggeng yang sebenarnya jika sudah melalui ritual sakral upacara sayembara memperebutkan virginitas si calon ronggeng. Pandangan semacam itu berasal dari konsep mitos yaitu menjadi seorang ronggeng sejati bukanlah hasil pengajaran melainkan jika indang (semacam roh atau wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan) telah merasuki tubuhnya. Para ibu di dukuh itu merasa senang sekali jika anaknya dapat menjadi ronggeng. Selain itu, para istri merasa bangga jika suami mereka dapat bertayub dengan ronggeng. Dengan demikiankita bisa memahami bahwa keperawanan di Dukuh Paruk masih merupakan hal yang istimewa, tetapi untuk alasan yang berbeda dari budaya Jawa tradisional: mengambil keperawanan seseorang, khususnya ronggeng, membawa citra baik, dan menyerahkan keperawanan dapat menghasilkan keuntungan finansial. 8. Pernikahan Dalam budaya Jawa tradisional, pernikahan adalah perjalanan hidup yang ditempuh oleh dua orang, satu suami dan satu istri. Biarpun sultan dan raja zaman kuna mempunyai beberapa selir, mereka tidak dianggap setara dengan istri. Dalam kalangan orang awam, pernikahan berarti hanya boleh bersetubuh dengan istri dan selir tidak diizinkan. Biarpun menurut ajaran Islam seorang pria boleh menikah lebih dari satu istri, itu harus dengan izin istri pertama; akibatnya, jarang dilakukan. Orang yang diketahui telah selingkuh dipermalukan oleh orang sekampung dan dapat diusir dari kampung mereka. Di Dukuh Paruk, kebudayaan ini sama sekali tidak dihormati. Apabila seorang suami atau istri berselingkuh, secara tradisional pasangan mereka tidur dengan pasangan orang yang ditiduri dalam perselingkuhan itu. Setelah itu, semua urusan dianggap beres. Kedudukan suami-istri di luar Dukuh Paruk tidak digambarkan. D. Fungsi Sastra Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya sastra memiliki fungsi ganda yaitu sebagai hiburan sedangkan disisi lain berusaha memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan. Fungsi karya sastra bagi kehidupan ada lima kelompok: 1. Fungsi Rekreatif yaitu karya sastra dapat memberikan rasa senang, gembira serta menghibur para pembaca. Fungsi rekreatif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika Srintil bermain bersama Rasus, Darsun dan Warta dibawah rindangnya pohon nangka. Srintil menirukan gaya ronggeng yang menari dan bernyanyi, sementara Rasus, Darsun dan Warta menirukan bunyi gendang, gong dan calung yang mengiringi tarian Srintil. Kejadian ini tampak pada kutipan berikut: Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim kemarau. Ketika sinar matahari mulai meredup di langit barat. Srintil menari dan bertembang. Gendang, gong dan calung mulut mengiringinya. Rasus bersila, menepak-nepak lutut menirukan gaya seorang penggendang. Warta mengayunkan tangan ke kiri-kanan, seakan ada perangkat calung di hadapannya. Darsun membusungkan kedua pipinya. Suaranya berat menirukan bunyi gong. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:6) Apa yang dilakukan oleh Srintil, Rasus, Darsun, dan Warta tersebut dapat memberikan hiburan kepada pembaca, sehingga pembaca dapat menemukan kesenangan dan kegembiraan dalam novel tersebut. 2. Fungsi Estetis yaitu karya sastra itu indah, secara otomatis karya sastra akan memberi keindahan bagi penikmatnya. Fungsi Estetis dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu ketika pengarang mendeskripsikan keadaan dukuh Paruk dengan bahasa yang sangat indah, sehingga menimbulkan kesan keindahan pada pembaca, seperti tampak pada kutipan berikut: Sepasang burung bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa; katak, ikan, udang atau serangga air lainnya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:1) Dengan penggunaan bahasa yang indah, pembaca juga akan merasakan suatu keindahan dalam novel ini. Dengan bahasa yang indah pula maka pembaca akan lebih menikmati sebuah karya sastra. 3. Fungsi Didaktif yaitu karya sastra yang baik biasanya mampu mengarahkan dan mendidik para pembaca karena nilai-nilai kebenaran yang terkandung didalamnya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, fungsi didaktis dapat dijumpai ketika orang-orang dukuh paruk meyakini bahwa musibah tempe bongkrek hanya diakibatkan oleh asam tembaga. Sebenarnya asam tembaga bukan satu-satunya penyebab timbulnya racun pada tempe bongkrek, melaikan ada semacam bakteri jahat yang juga menyebabkan musibah tempe bongkrek di dukuh Paruk, seperti tampak pada kutipan berikut: Itu kisah tetek-bengek yang begitu diyakini oleh setiap orang Dukuh Paruk. Siapa pun takkan berhasil mengubah keyakinan itu. Juga orang tak perlu mengutuk warga Dukuh Paruk yang percaya penuh bahwa asam tembaga adalah satu-satunya penyebab bencana. Di kemudian hari aku diberi tahu asam tembaga benar racun. Namun sepanjang menyangkut malapetaka tempe bongkrek, asam tembaga tak terbukti berperan. Kesalahan harus ditimpakan kepada bakteria jenis pseudomonas coccovenenans yang ikut tumbuh pada bongkrek dalam peragian. Bakteria itu menghasilkan racun kuat yang menjadi cikal-bakal kematian orang yang makan tempe bongkrek. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:18) Melalui kisah tersebut, pembaca dapat mengetahui dan terarahkan bahwa apa yang dipercayai oleh masyarakat dukuh paruk bahwa asam tembaga merupakan satu-satunya akibat timbulnya racun pada tempe bongkrek itu salah. Melainkan adanya racun dalam tempe bongkrek juga disebabkan karena bakteria jenis pseudomonas coccovenenans yang ikut tumbuh pada bongkrek dalam proses peragian yang salah. 4. Fungsi Moralitas artinya karya sastra yang baik biasanya selalu mengandung nilai-nilai moral yang tinggi. Dengan begitu pembaca akan tahu bagaimana moral yang baik dan buruk bagi dirinya. Nilai moralitas dalam Ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika adanya upacara malam bukak klambu sebagai syarat menjadi seorang ronggeng, sayembara untuk memperebutkan keperawanan si ronggeng. Hal ini tampak pada kutipan berikut: Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! pikirku. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:29) Dari kutipan tersebut tampak bahwa moral masyarakat dukuh paruk sangat tercela. keperawanan, yang sejatinya harus dijaga sampai si gadis menikah justru dijadikan syarat menjadi seorang ronggeng dan disayembarakan dengan uang untuk menikmati keperawanan si ronggeng. Nilai moralitas dalam novel ini juga tampak ketika para istri masyarakat dukuh Paruk justru bangga ketika suami mereka dapat bertayup dengan ronggeng. Seperti tampak pada kutipan berikut: Demikian. Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:21) 5. Fungsi Religiusitas yaitu karya sastra mengandung ajaran-ajaran agama yang harus dan wajib diteladani oleh para penikmatnya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk juga memiliki nilai fungsi religiusitas yang tinggi, yaitu nilai agama yang sangat kental dijumpai pada masyarakat diluar Dukuh Paruk, seperti tampak pada kutipan berikut: Yang tercantik di antara mereka selalu menutup diri di samping ayahnya. Dia bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar jangan mencoba menggoda si alim itu. Kata mereka, hanya laki-laki bersembahyang pula bias berharap pada suatu saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah. Pelanggaran atas ketentuan itu adalah dosa besar. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:51) Dari kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa keadaan diluar dukuh paruk konsep keperawanan dan pernikahan sangat dijunjung tinggi. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut adalah dosa besar. Artinya, dengan mengenal adanya dosa maka menjadi fungsi religiusitas yang tinggi terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. 6. Fungsi Kontrol Sosial Fungsi kontrol sosial yaitu karya sastra memberikan kontrol atau kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki fungsi kontrol sosial, yaitu ketika Rasus menyingkir dan pergi dari kehidupan dukuh Paruk yang penuh dengan kemaksiatan dan berpindah ke Dukuh Dawuan yang masyarakattnya kental akan nilai agama. Hal ini tampak pada kutipan berikut: Dawuan, tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti,pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Di sana aku dapat melihat kehadiranorang-orang dari perkampungan dalam wilayah kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk. Pasar Dawuan menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut dan seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang paling terpencil bisa didengar di pasar itu. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:48) Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk yang penuh dengan kemaksiatan menuju Dukuh Dawuan yang kental akan nilai agama memberi nilai kontrol sosial kepada masyarakat bahwa kehidupan yang penuh dengan keburukan harus diubah dan segera hijrah menuju kebaikan hidup. E. Nilai Sastra Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk 1. Nilai Bermasyarakat  Warga Dukuh Paruk menggantungkan hidupnya pada alam Orang-orang dewasa tetap bekeria di ladang atau sawah. Anak-anak pergi dengan binatang gembalaannya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:7)  Warga Dukuh Paruk hidup dalam kemelaratan. Dukuh Paruk mulai hidup. Dentum lesung berisi gaplek yang ditumbuk. Semua makanan enak sebab perut anak-anak Dukuh Paruk tidak pernah benar-benar kenyang. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:13)  Warga Dukuh Paruk memegang kuat kepercayaan pada nenek moyang (Ki Secamenggala. Tidak bisa! Siapa tahu kejadian ini adalah pageblug. Siapa tahu kejadian ini karena kutuk roh Ki Secamenggala yang telah lama tidak diberi sesaji. Siapa tahu!” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:14) 2. Nilai Sosial  Dukuh Paruk tidak akan lengkap tanpa keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah-serapah, irama calung dan seorang ronggeng. Namun segalanya masih utuh di sana; keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah-serapah, irama calung dan seorang ronggeng. Mereka sudah begitu rindu akan suara calung. Belasan tahun lamanya mereka tidak melihat pagelaran ronggeng. Maka bukan main senang hati mereka ketika mendengar Kartareja bersuara; pertunjukan akan dimulai. Misalnya kata umpatan “asu buntung”, yang bisa didengar setiap menit di Dukuh Paruk tanpa akibat apa pun, merupakan kata penghinaan paling nista di luar pedukuhan itu. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:64)  Di Dukuh Paruk, seorang istri tidak cemburu melainkan bangga bila suaminya bertayub dengan ronggeng Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya. Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:21)  Seorang Ronggeng diperlakukan istimewa daripada warga biasa Semua pedagang di pasar memperlakukan Srintil sebagai orang istimewa. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:49)  Orang luar memandang buruk terhadap warga Dukuh Paruk. Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar, misalnya : “Jangan mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.” atau “Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis seperti anak-anak Dukuh Paruk!” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:8) 3. Nilai Religius  Warga Dukuh Paruk memuja Ki Secamenggala, yang konon adalah nenek moyang mereka. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di sana. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:4)  Sarana penghubung batin dengan nenek moyang adalah dengan menyanyikan sebuah kidung. Sarana yang diajarkan oleh nenek moyangnya adalah sebuah kidung yang dinyanyikan oleh Sakarya dengan segenap perasaannya; Ana kidung rumeksa ing wengi Teguh ayu luputing lara Luputa bilahi kabeh Jin setan datan purun (dan seterusnya...) (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:17)  Masyarakat Dukuh Dawuan yang memiliki nilai religiusitas tinggi. Tokh tidak semuanya demikian. Yang tercantik di antara mereka selalu menutup diri di samping ayahnya. Dia bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar jangan mencoba menggoda si alim itu. Kata mereka, hanya laki-laki bersembahyang pula bisa berharap pada suatu saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah. Pelanggaran atas ketentuan itu adalah dosa besar. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:51) 4. Nilai Budaya  Kebudayaan ronggeng di Dukuh Paruk yang sudah ada sejak lama Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara turun-temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan laporan Sakarya tentang Srintil, dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk. (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:8)  Kebudayaan Keris “Mereka mengatakan keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Itu keris pekasih yang dulu selalu menjadi jimat para ronggeng. Mereka juga mengatakan hanya karena keberuntunganku maka keris itu sampai ke tanganku. Rasus, dengan keris itu aku akan menjadi ronggeng tenar. Itu kata Kakek dan juga kata Kartareja.” (Ronggeng Dukuh Paruk,1982:24) BAB IV PENUTUP A. Simpulan Dengan kajian sosiologi sastra, maka kita akan lebih mudah menemukan esensi ataupun intisari yang sangat menarik di dalamnya. Mengingat pengertian sosiologi sastra yang mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya, maka sesuai jika mengkaji isi dari cerita ini yang konon sangat memiliki esensi budaya dan adat istiadat yang melekat erat di masyarakatnya. Dengan demikian, sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk banyak sekali terdapat konteks kehidupan masyarakat Jawa dan kental akan berbagai fungsi, seperti fungsi sosial, Fungsi Religiusitas. Fungsi Moralitas, Fungsi Didaktif, Fungsi Estetis, Fungsi Rekreatif dan fungsi kontrol sosial. Selain fungsi sastra, berbagai nilai kehidupan seperti nilai sosial, nilai budaya, nilai bermasyarakat, dan nilai religius juga terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk A. Saran Pembaca, sebagai peminat karya sastra hendaknya juga dapat melakukan pengkajian karya sastra supaya dapat lebih memahami unsur-unsur karya sastra secara lebih mendalam rangkaian hikmah yang ada dan untuk mengetahui lebih dekat macam-macam teori pengkajian sastra agar dapat menambah wawasan pembaca